Jumat, 06 Mei 2016

Resensi Film PehCun



Resensi PehCun


 
Duan Wu Jie atau yang dikenal dengan sebutan Peh Cun di kalangan Tionghoa Indonesia adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan dan sejarah Tiongkok. Peh Cun adalah dialek perahu naga di kalangan Tionghoa Indonesia telah tidak umum saat ini namun istilah Peh Cun tetap digunakan untuk menyebut festival ini. Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dimulai dari masa Dinasti Zhou.
Perayaan festival ini yang biasa kita ketahui adalah makan Bak Cang (Rou Zong – bahasa Mandarin) dan perlombaan perahu naga (Hua Long Zhou – bahasa Mandarin ). Karena dirayakan secara luas di seluruh Tiongkok, maka dalam bentuk kegiatan dalam perayaannya juga berbeda di satu daerah dengan daerah lainnya. Namun persamaannya masih lebih besar daripada perbedaannya dalam perayaan tersebut.

ASAL USUL

Dari catatan sejarah dan cerita turun-temurun dalam masyarakat Tiongkok, asal usul festival ini dapat dirangkum menjadi tiga kisah:

a. Peringatan atas Qu Yuan
Qu Yuan (339 SM ~ 277 SM) adalah seorang menteri Raja Huai dari Negara Chu di masa Negara Berperang (Zhan Guo Shi Dai, 475 SM ~ 221 SM). Ia adalah seorang pejabat yang berbakat dan setia pada negaranya. Ia banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu, bersatu dengan negara Qi untuk memerangi negara Qin. Namun sayang, ia dikritik oleh keluarga raja yang tidak senang padanya yang berakhir pada pengusirannya dari ibukota negara Chu. Ia yang sedih karena kecemasannya akan masa depan negara Chu kemudian bunuh diri dengan melompat ke sungai Yu Luo. Ini tercatat dalam buku sejarah “Shi Ji” tulisan sejarahwan Sima Qian. Lalu menurut legenda, ia melompat ke sungai pada tanggal 5 bulan 5. Rakyat yang kemudian merasa sedih kemudian mencari-cari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu jenazah sang menteri. Kemudian untuk menghindari makanan tersebut dari naga dalam sungai tersebut maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai Bak Cang sekarang. Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga setiap tahunnya.

b. Peringatan atas Wu Zi-xu

Ini adalah versi lain yang juga populer di pesisir timur Tiongkok. Wu Zi-xu adalah orang negara Chu pada zaman Musim Semi dan Gugur (Chun Qiu Shi Dai, 770 SM ~ 476 SM), namun karena keluarganya dibunuh oleh Raja Chu menyebabkan ia pergi membantu negara Wu menyerang negara Chu. Kerajaan Wu menang perang berkat jasanya. Sayangnya, setelah Raja Wu He Lu meninggal dan digantikan anaknya, anaknya tidaklah begitu menghormati Wu Zi-xu. Wu Zi-xu yang menasehatkan raja baru untuk menyerang negara Yue tidak digubris dan malah ia difitnah oleh menteri negara Wu yang bersekongkol dengan negara Yue mengharuskan ia dihukum mati. Setelah meninggal, jenazahnya kemudian dibuang oleh menteri ke dalam sungai. Sehingga, orang-orang kemudian merayakan hari raya Duan Wu untuk memperingatinya.

c. Bermula dari perayaan suku kuno Yue di Tiongkok Selatan
Perayaan sejenis Duan Wu ini juga telah dirayakan oleh suku Yue di selatan Tiongkok pada zaman Dinasti Qin dan Han. Perayaan yang mereka lakukan adalah satu bentuk peringatan dan penghormatan kepada nenek moyang mereka. Kemudian setelah terasimilasi secara budaya dengan suku Han yang mayoritas, perayaan ini kemudian berubah dan berkembang menjadi perayaan Duan Wu yang sekarang kita kenal.

KEGIATAN DAN TRADISI

1. Lomba Perahu Naga



 Tradisi perlombaan perahu naga ini telah ada sejak zaman Negara Berperang (475 SM ~ 221 SM). Perlombaan ini masih ada sampai sekarang dan diselenggarakan setiap tahunnya baik di Mainland (Hunan), HongKong, Taiwan maupun di AS. Bahkan ada perlombaan berskala internasional yang dihadiri oleh peserta-peserta dari luar negeri yang kebanyakan berasal dari Eropa ataupun Amerika Utara.
Perahu naga ini biasanya didayung secara beregu sesuai panjang perahu tersebut.

2. Makan Bak Cang (= Rou Zong – bahasa Mandarin)




 
Tradisi makan bak cang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam festival Duan Wu sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun bak cang telah populer di Tiongkok, namun belum menjadi makanan simbolik festival ini. Bentuk bak cang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bak cang tadi.

Di Taiwan, di zaman Dinasti Ming akhir, bentuk bak cang yang dibawa oleh pendatang dari Fu Jian adalah bentuk bak cang yang bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang. Isi bak cang juga bermacam-macam dan bukan hanya daging, ada yang isinya sayur-sayuran. Ada pula yang dibuat kecil-kecil namun tanpa isi untuk kemudian dimakan bersama serikaya.

3. Menggantungkan Rumput Ai dan Chang Pu





Duan Wu yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai bulan-bulan yang banyak penyakitnya, sehingga rumah-rumah biasanya melakukan bersih-bersih, lalu menggantungkan rumput Ai (saya kurang tahu bahasa Indonesia-nya – Penulis) dan Chang Pu di depan rumah untuk mengusir dan mencegah datangnya penyakit. Jadi, festival ini juga erat kaitannya dengan tradisi menjaga kesehatan di dalam masyarakat Tionghoa.

Resensi Film Gambang Kromong.



Resensi Film Gambang Kromong.


“Apa sih Gambang Kromong?” . Gambang Kromong merupakan musik hasil perpaduan dari alat-alat musik Tionghoa dengan gamelan dimana adanya perpaduan antara unsur Tionghoa dengan unsur pribumi. Namun, pasti kita sudah sangat jarang mendengarnya sekarang. Kecuali orang-orang yang tinggal didaerah Tangerang, khususnya masyarakat cina benteng ini.
Biasanya Gambang Kromong ini bisa kita lihat dan dengarkan pada acara-acara tertentu di masyarakat cina benteng ini seperti perayaan Imlek, pernikahan hingga kematian. Gambang Kromong dianggap bagian penting bagi tradisi masyarakat cina benteng dan masih betul-betul hidup dengan menurunkannya kepada anak cucu mereka.
Lalu, apa sih arti cina benteng itu sebenarnya? Dan mengapa ia juga masuk dalam kebudayaan Indonesia?

Sedikit kilas saja, mengapa disebut sebagai cina benteng karena pada jaman dulu masyarakat cina benteng ini tinggal di “Benteng”, yang merupakan nama lama dari kota Tangerang.
Hal yang membedakan cina benteng dengan masyarakat Tionghoa lainnya yang biasanya berkulit putih; masyarakat cina benteng ini mempunyai kulit yang lebih gelap dan sudah jarang menggunakan bahasa cina karena masyarakat cina benteng ini sudah berbaur dengan masyarakat pribumi.
Agama yang dianut oleh masyarakat cina benteng ini juga beragam, ada: Buddha, Taoisme, Konghucu, Protestan, Katolik dan ada juga sedikit di antara mereka yang beragama Islam.
tradisi Gambang Kromong yang ini sudah menjadi sejarah akan setiap keturunan baru dalam keluarga cina benteng. Tradisi yang dianggap penting ini dianggap sebagai keseharian dan tradisi kesenian yang tidak boleh sampai hilang.

Agar budaya tersebut dapat terus bertahan, budaya tersebut tidak hanya sekedar diberitahukan kepada anggota lainnya. Namun harus diperhatikan bahwa elemen penting budaya tersebut juga secara benar-benar diturunkan pada generasi berikutnya. Dengan begitu, masa lalu tersebut bisa menjadi masa kini dan akan terus ada sampai masa mendatang.

Gambang Kromong ini merupakan rutinitas dan kesibukannya. Beliau beserta anggota grup musiknya bersedia diundang untuk acara apapun. Karena ia dapat memainkan lagu apapun, walau baru saja mendengar. Namun, lagu-lagu yang biasa dimainkan oleh Gambang Kromong adalah lagu-lagu tradisional dan lagu-lagu lama.

Dan kini, Gambang Kromong sendiri sudah berkembang. Mungkin anda pernah mendengar dengan Gambang Kromong Kombinasi. Jenis ini sama halnya dengan Gambang Kromong pada umumnya namun adanya penambahan alat-alat musik barat yang moderen seperti gitar, bas, organ, drum, dan lainnya. Walaupun begitu, lagu masih dimainkan secara wajar dan sama sekali tidak mengurangi kekhasan dari Gambang Kromong itu sendiri.

Resensi Film Cin(T)a



Resensi Film Cin(T)a










Produser           : M Adi Panuntun, M Budi Sasono, Sammaria Simanjuntak
Sutradara          : Sammaria Simanjuntak
Penulis              : Sally Anom Sari, Sammaria Simanjuntak
Pemeran           : Saira Jihan, Sunny Soon
Tahun               : 2009

“Cina dan Annisa mencintai Tuhan, dan Tuhan mencintai mereka. Tapi Cina dan Annisa tidak bisa saling mencintai karena mereka memanggil nama Tuhan dengan nama yang berbeda”










    Cina (18) yang diperankan oleh Sunny Soon adalah seorang warga keturunan tionghoa yang berasal dari medan. Cina merupakan mahasiswa baru yang tidak pernah mengalami kegagalan, dengan modal tekad yang kuat cina yakin mewujudkan mimpinya. Annisa (24) yang diperankan oleh Saira Jihan adalah seorang perempuan muslimah yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan Tugas Akhir akademiknya karena dirinya disibukkan dengan karirnya di industri perfilman. Kecantikan dan ketenarannya membuat Annisa kesepian sehingga ia bersahabat dengan jari muka sedih.

   Kisah ini Berawal dari pertemuan Annisa dan Cina yang berada dalam satu universitas yang sama, dimana saat itu Cina sudah mengenal Anissa lewat film-film yang telaha dibintangi oleh Anissa sebab Anissa merupakan aktris yang aktif diindustri perfilman. Dengan jadwal shooting yang padat membuat Anissa kesulitan untuk menyelesaikan tugas akhirnya, kemudian Cina diminta untuk membantu menyelesaikan maket milik Annisa, dan Dalam beberapa kali pertemuan mereka pun akhirnya bersahabat. Suatu hari, Cina diminta ayahnya untuk kuliah di Singapore karena ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah disana, namun Cina menolak dan meyakinkan ayahnya bahwa ia akan mendapatkan beasiswa di kampusnya.


Hari-hari Cina dilewati bersama Annisa. Keduanya saling jatuh cinta. Banyak diskusi yang mereka lakukan tentang Tuhan dan perbedaan. Semua berjalan dengan lancar sampai akhirnya Cina sangat kecewa ketika ia tidak menemukan namanya di daftar penerima beasiswa. Masalah baru pun muncul ketika ada pemberitaan pengeboman di gereja-gereja saat natal kala itu. Cina sangat marah dan kecewa dengan Tuhan. Kekecewaannya itu membuat hubungan dengan Annisa meregang. Keduanya paham mereka tidak bisa saling bersama satu sama lain.

 Akhir cerita dari film pendek ini mengkisahkan perpisahan antara Cina dan Anisaa, dimana keduanya memilih jalan yang berbeda karena perbedaan yang mereka miliki. Anissa memutuskan untuk menikah dengan tunangan yang telah dipilihkan oleh orangtua nya walaupun sebenarnya ia tidak mencitai pria tersebut, sedangkan Cina pergi ke singapur untuk melanjutkan kuliahnya melalui jalur beasiswa.
Film pendek yang berdurasi sekitar 1 jam ini, banyak memberikan pelajaran dan bahan diskusi dengan dialog cerdasnya. Secara garis besar, film ini menggambarkan ketidak berhasilan hubungan antara dua insan manusia yang memiliki perbedaan keyakinan, dan juga fokus pada  bagaimana toleransi antar umat beragama. Kisah cinta yang banyak mewarnai film ini menjadi daya tarik tersendiri, mengingat tidak sedikit orang yang jatuh cinta tetapi berbeda keyakinan


Dear (You) (Allah) (God) (YHWH) (El) (Tuhan)

Resensi dokumenter tentang cio tao



Resensi dokumenter tentang cio tao



Pernikahan Adat Chinese “Cio Tao”

Cio Tao merupakan pernikahan berdasarkan adat di kebudayaan masyarakat Chinese. Biasanya kegiatan Cio Tao ini diadakan di rumah pengantin masing-masing di pagi hari, sepagi mungkin. Mengapa? Karena konon, aapabila melakukan adat ini di siang hari, rezeki untuk pengantin itu bisa habis.. Oleh karena itu, Cio Tao harus dilakukan pagi hari.

Di dalam kegiatan Cio Tao ada beberapa ritual yang dilakukan. Seperti contohnya sembahyang, menginjak nampan yang berwarna merah dan bergambar Yin dan Yang, menyisir rambut, sawer uang, dan masih banyak lagi. Berikut ini akan saya bahas satu per satu.

Pertama-tama biasanya orang tua dari mempelai akan melakukan sembahyang terhadap leluhur, kemudian dilanjutkan dengan penuangan arak sebanyak 3 kali ke lantai.

Setelah itu pengantin akan dibawa masuk dan diminta untuk duduk di sebuah kursi dengan kakinya berada di dalam sebuah nampah. Nampah yang berwarna merah dan terdapat gambar Yin dan Yang. Ketika pengantin menginjak nenampah itu, dilarang menggeser nenampah itu sama sekali.

Setelah itu ada seorang anak kecil dari pihak pengantin, yang dinamakan secek. Secek ini diminta untuk menyisir rambut pengantin dari bawah kepala sampai ke kaki. Konon katanya mengapa harus disisir sampai ke kaki? Agar suatu saat dalam menjalani bahtera rumah tangga, apabila ada cekcok sedikit bisa langsung diluruskan saja dengan baik-baik.

Acara yang terakhir adalah pengantin akan bersembahyang kepada leluhur secara bersama-sama atau berdampingan..

Nah, dengan menjalani beberapa ritual Cio Tao tersebut, secara adat mereka sudah dianggap sah sebagai suami istri…